Pengunjung melihat foto dalam Pameran Foto Elora di IISIP Jakarta, Jumat (20 Mei 2016). Foto: Fachrul Irwinsyah
Kata Elora dipilih karena memiliki arti yang merepresentasikan pameran tersebut, yaitu kemenangan bersama. Pameran yang menjadi perayaang kemenangan bagi 6 pameris: Ajeng, Gema, Agung, Melati, Ijat dan Edi yang selesai menjalankan pendidikan dasar fotografi mereka yang panjang.
Terdapat 8 foto dalam rangkaian foto cerita dari tiap pameris. Ajeng memilih panari Topeng Betawi sebagai subjek foto untuk pameran pertamanya ini. Rangkaian foto yang menunjukan gemulainya sang penari itu bersanding dengan foto milik Gema yang menceritakan seorang pembuat replika bagian tubuh bagi para difabel. Di dinding sebelahnya, ada foto-foto Agung menunjukan seorang bocah yang asik memainkan wayang golek. Bocah yang masih duduk di bangku SMP itu menekuni dunia dalang sama halnya dengan sang ayah yang juga seorang dalang.
Berada di panel yang sama dengan Agung, gemulai seorang panari kembali ditunjukan. Kali ini Melati sebagai fotografernya. Berbeda dengan Ajeng yang memilih tari tradisional, perempuan bertubuh tambun itu mengangkat tari dari Eropa yaitu Balet. Ia menunjukan kerja keras dari seorang balerina yang juga seorang mahasiswi. Bukan hanya keanggunan, luka di ujung kaki sang balerina juga tak luput dari jepretan perempuan yang kerap di sapa Melar itu.
Tarian masih menjadi tema foto di dinding selanjutnya, tapi bukan tarian dari sebuah sanggar didik atau tempat kursus seperti yang ditunjukan Melati dan Ajeng. Melainkan sebuah pertunjukan seni jaipong di pinggiran jalan ibu kota-lah yang diangkat oleh Ijat. Tidak hanya saat tampil di atas panggung, pria kurus berkacamata itu juga menunjukan kehidupan para penari yang berdesakan dalam petak kecil kontrakan. Kerja keras penari jaipong dalam mencari nafkah disandingkan dengan foto-foto proses pembuatan golok yang direkam oleh Edi.
Foto Edi memiliki nuansa berbeda dibanding 5 tema foto bercerita lainnya. Ed, begitu dia disapa, tidak terfokus pada seseorang layaknya kelima foto sebelumnya. Ia hanya menunjukan bagaimana sebuah golok dibuat. Mungkin foto ini terbilang hampa, tapi yang menarik dalam karya cowo yang menggantikan Gema sebagai Ketua Pameran ini, adalah narasinya.
Ed memilih kutipan dari puisi Beni R. Budiman berjudul “Fragmen Pandai Besi” sebagai pembuka narasi miliknya. Pengutipan itu menjadi hal menarik karena lima pameris lainnya memiliki kerangka tulisan yang sama. Mereka menjelaskan secara umum tema yang mereka foto. Barulah pada dua paragraf akhir mereka menjelaskan tentang apa atau siapa yang mereka foto. Jujur penulisan itu seperti template, meski itu memang tidak salah. Mungkin lain waktu mereka bisa lebih berekspresi dalam menulis untuk karya foto mereka. Karena masih banyak gaya penulisan narasi foto yang bisa mereka contoh.
Begitulah kira-kira deskripsi foto-foto bercerita dalam Pameran Foto Elora. Bagaimana dengan foto-foto tunggalnya? Beberapa foto menunjukan perjalanan di gunung, kehidupan kuli panggul pelabuhan, lomba balap vespa dan motor trail. Ada juga yang memotret warna-warni bianglala di pasar malam, kegembiraan upacara bendera saat 17 Agustus, keceriaan siswa SD dan emosi seorang mahasiswa saat berdemo. Juga beberapa foto lainnya yang gua lupa.
Nah, buat yang gak sempat mampir ke pamerannya gua punya foto-foto saat berkunjung ke sana:
*Silakan klik > untuk melihat foto selanjutnya