“Jadi Arema yang mana, sob?” tanya seorang kawan usai kami menyaksikan sebuah pertandingan sepakbola di salah satu warung kopi dekat kampus kami. Pertanyaan itu diajukan untuk menyinggung rencana kongres PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) yang akan mengampuni klub-klub terhukum. Salah satu yang masuk dalam daftar pengampunan adalah Arema. Lebih tepatnya: Arema Indonesia atau yang dulu dikenal dengan nama Arema IPL. Keputusan itu akan menghadirkan 2 Arema di jagat sepakbola Indonesia: Arema Cronus dan Arema Indonesia.
Arema Indonesia yang dipimpin Winarso itu tidak diakui PSSI saat prosses unifikasi liga. Maklum saat itu Arema bukan hanya versi Winarso tapi juga ada versi Iwan Budianto. Di antara keduanya PSSI lebih memilih Arema yang diasuh Iwan Budianto (IB). Alasannya karena menurut mereka Arema versi IB yang bermain di Indonesia Super League (ISL) memiliki legalitas yang jelas. Sedangkan milik Winarso adalah ilegal karena bermain di Indonesian Premier League (IPL). Bagi PSSI, Arema versi Winarso adalah klub baru yang lahir untuk mengikuti IPL. Meski saat itu keduanya sama-sama menggunakan PT Arema Indonesia sebagai badan hukum mereka.
Kehadiran 2 Arema saat itu tak lepas dari perseteruan elit PSSI dalam kongres mereka pada 2011. Ego pemimpin baru Djohar Arifin Husein mengganti operator liga sebelumnya PT Liga Indonesia dengan aktor breakaway league, Liga Prima Indonesia (LPI) menjadi pemicunya. Banyak anggota PSSI terutama peserta ISL yang tidak setuju. Sikap yang akhirnya melahirkan federasi tandingan, Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) beserta kongres-kongres tandingannya. Kondisi itu berimbas di tubuh klub anggota. Ada yang memilih membelah diri; tetap mengikuti kompetisi PSSI; atau bahkan memilih membelot ke KPSI.
Singo Edan (julukan Arema) menjadi klub yang membelah diri. Dualisme klub asal Malang ini lahir di tahun yang sama dengan perseteruan tersebut. Meski begitu, menyalahkan federasi untuk kekusutan yang terjadi di klub Arema juga tak sepenuhnya tepat. Karena nyatanya masih ada klub yang tetap solid hingga konflik usai. Lantas siapa yang mesti disalahkan? Pengurus klub.
Suka tidak suka, setuju tidak setuju, kekusutan di klub Arema lahir dari carut pengelola klub berlogo kepala singa tersebut. Sejak diserahkan Bentoel ke Konsorsium pada 2009 lalu, manajemen Singo Edan tak pernah adem. Terutama di jajaran Yayasan Arema sebagai pemilik 93% saham PT Arema Indonesia. Pasalnya usai penyerahan dari Bentoel, pengurus yayasan mengundurkan diri secara bergantian. Bodohnya pengunduran diri ini tak pernah ditanggapi secara serius. Hingga akhirnya kita tidak tahu siapa pengambil keputusan tertinggi di yayasan sebagai pemilik saham mayoritas klub Arema.
Bagaimana bisa begitu? Mari sejenak mengurut kusutnya pengelola Arema. Kita mulai dari tahun 2009. Saat itu Bentoel menyerahkan Arema ke konsorsium. Satu persatu orang-orang dari perusahaan rokok itu pun meninggalkan Yayasan Arema dan Perseroan, digantikan dengan wajah-wajah baru: Darjoto Setyawan (Pembina Yayasan Arema), M. Nur (Ketua Yayasan Arema), Mudjiono Moejito (Sekretaris Yayasan Arema), Rendra Kresna (Bendahara Yayasan Arema), Bambang Winarno (Pengawas Yayasan Arema). Kelima orang itu menjadi pengurus Yayasan Arema pertama usai peralihan dari Bentoel. Mereka tercatat dalam akta nomor 1 yang dibuat Nurul Rahadianti, SH tahun 2009. Sedangkan di perseroan Gunadi Handoko tercatat sebagai Direktur Utama PT Arema Indonesia. Ada juga nama Siti Nurzanah yang saat itu disebut sebagai manager bisnis PT Arema Indonesia. Salah satu produk kerjanya adalah original tag untuk marchandise asli Arema.
BACA JUGA>
Mengagumkan, Kemiringan Gedung Pencakar Langit ini Empat Kali Lebih Miring dari Menara Pisa
Tak lebih dari setahun susunan pengurus Arema mulai kehilanggan organnya. Dimulai dari Darjoto Setyawan yang memilih mundur pada 8 September 2009. Kemudian diikuti oleh Mudjiono Moejito (2 Agustus 2010) dan Rendra Kresna (25 Oktober 2010). Perubahan itu tak pernah sekalipun ditanggapi serius. Tak ada pergantian dari sisa pengurus untuk mengisi kelengkapan organ yayasan. Kondisi makin parah karena Arema yang baru saja juara ISL 2009/2010, ternyata mengalami krisis finansial di musim berikutnya. Krisis finansial ini nyatanya cukup berpengaruh kepada tim dan manajemen.
Di akhir musim 2010/2011 krisis ini mencapai puncaknya. Gaji pemain telat dibayarkan, bahkan isu boikot pertandingan senter terdengar dari para punggawa Singo Edan. Kondisi ini juga memiliki andil terbelahnya Arema. Karena saat itulah orang-orang yang menilai dirinya bertanggung jawab kepada Arema membuat keputusan yang berbeda. Aktornya adalah Rendra Kresna dan M. Nur.
Rendra Kresna yang semula menjabat sebagai Bendahara Yayasan, dikabarkan diangkat menjadi Pembina Yayasan bersama pengusaha PT Anugerah Citra Abadi, Iwan Kurniawan (ia dikenal juga dengan sebutan Iwan KT). Pengangkatannya terjadi usai rapat pengurus yayasan yang digelar oleh Pengawas Yayasan, Bambang Winarno di Pendopo Pemerintah Kabupaten Malang pada Minggu, 29 Mei 2011. Rapat tersebut juga dikabarkan dihadiri oleh Ketua Yayasan M. Nur. Namun, belum sempat perubahan ini didaftarkan ke Menkumham, M. Nur membuat keputusan kontroversi: ia mengangkat Eddy Rumpoko sebagai Pembina Yayasan Arema. Runyam!
Pemain mungkin bisa sedikit merasa lega karena koalisi M. Nur dan Eddy hadir dengan membawa dana untuk melunasi gaji pemain yang tertunda. Tapi hal ini tidak terjadi di jajaran yayasan. Karena seperti dilansir kompas.com dana yang dibawa M. Nur ternyata tidak atas persetujuan pengurus atau pembina yayasan. Hal itu membuat dirinya diberhentikan sementara oleh Pengawan Yayasan Arema karena dianggap melanggar UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Bukan hanya itu M. Nur juga dinilai lalai dari tanggung jawab karena Bambang mencatat selama 10 bulan, Nur tidak pernah ke kantor untuk mengurus Arema.
Pada 14 Agustus 2011 sebuah kabar baik datang: Eddy Rumpoko bersatu dengan Rendra – Iwan. Ketiga orang ini menyatakan diri sebagai Pembina Yayasan Arema dalam sebuah konfereni pers di Cafe D’Live, Malang. Namun, lagi-lagi perubahan ini tak terdaftar dalam Kemenkumham. Hal ini membuat legalitas mereka dipertanyakan. Meski begitu, mereka mendapatkan penyokong dana untuk Arema. Mereka membawa Iwan Budianto (IB) yang didukung Bakrie Group untuk mendanai Arema di kompetisi selanjutnya. IB juga dikabarkan melunasi sisa 2,5 bulan gaji pemain Arema untuk musim 2010/2011 yang tertunggak.
***
Tulisan ini disusun pada pertengahan Februari 2017 dan dirangkum dari berbagai sumber. Penyajian tulisan ini sebagai catatan dan pengingat untuk penulis (mungkin juga Aremania dan pecinta sepakbola Indonesia) atas proses yang terjadi di tubuh Arema hingga menjadi dua.