Keraton Jogja. (foto: Fachrul Irwinsyah) |
Setiap orang di dunia ini pasti punya keinginan mengunjungi tempat yang ia impikan. Tempat itu mungkin harus menyebrangi lautan, melewati bukit, atau mendaki gunung. Tetapi bagaimana kalo tempat yang lo impikan jaraknya gak jauh dari kota lo tinggal? Gragetan kan pastinya. Ditambah lagi kebanyakan (mungkin semuanya) teman lo udah pernah ke tempat itu. Makin kepengenkan lo.
Itulah yang terjadi sama gua setiap kali ngobrol sama temen gua tentang tempat yang pengen dikunjungin. Dan gua selalu mendapat ledekan karena ketika temen gua bercerita tentang wilayah yang jauh di timur Indonesia, pemandangan yang indah dari puncak gunung, menyeberangi laut Indonesia dan menikmati pantainya, atau menghabiskan banyak uang untuk terbang ke negeri orang. Gua malah mengatakan satu kota yang jaraknya dari Jakarta tak jauh, bahkan tak perlu menyebrang pulau. Ditambah lagi biaya untuk ke tempat tersebut tidaklah mahal. Kota itu adalah Jogja.
Iya Jogja memang telah menjadi kota impian bagi gua. Bisa dibilang Jogja adalah kota pertama yang ingin gua kunjungin jauh sebelum gua kenal Kota Malang. Tradisi budaya, kearifan masyarakatnya, warganya yang begitu menghormati pemimpinnya (gak banyak yang kaya gini di Indonesia), tata kotanya -yang menurut gua lebih baik dari Jakarta, dan banyaknya seniman yang lahir di kota ini membuat gua ingin menyaksikan langsung kesemuanya itu. Harus gua akui juga, kehadiran Sheila On 7 yang menjadi band favorit gua dan kebanyakan nonton FTV yang sering menggunakan latar kota Jogja, juga cerita-cerita orang yang berlibur di kota ini menjadi faktor yang membuat gua ingin menapakan kaki di kota yang terkenal dengan gudegnya tersebut.
Akhirnya kesempatan itu datang. Akhir bulan Januari, tepatnya 26 Januari 2014 gua, Yuda, Keti dan Abay (baca: tim 4) melakukan perjalanan ke Jogja. Rencana awalnya perjalanan ini adalah long trip (Gunung Prau, Jogja, dan Semarang), tapi ternyata Gunung Prau di Dieng ditutup untuk pendakian pada bulan Januari ini. Juga dibatalkan karena cuaca yang pada saat itu masih sangat buruk. Sedangkan tripke Semarang dibatalkan karena estimasiwaktu yang tidak cukup. Sebenarnya tanggal keberangkatan kami telah mundur satu minggu dari rencana pertama. Jadilah kami putuskan untuk berlama-lama di satu kota saja, Jogja.
Perjalanan dimulai
Kami berangkat ke Jogja dengan menumpang kereta api Progo dengan jadwal keberangkatan jam 10 malam. Diantara kami berempat, gua adalah orang yang datang paling belakangan. Bahkan hampir telat. Sepanjang perjalanan ke stasiun HP gua gak pernah berhenti bergetar. Maklum gua adalah penentu jadi atau tidaknya keberangkatan ini, karena gua yang megang tiket keretanya. Hahaha…
Seperti biasanya, kerata api Indonesia selalu berangkat tepat waktu, tapi tidak untuk waktu tibanya. Jika sesuai tiket sekarusnya kami tiba pukul 06.26, tapi kami baru tiba sekitar pukul 8 pagi. Yap, pagi itu kami tiba di Stasiun Lempuyangan, Jogja.
Setibanya di Jogja kami melipir sebentar ke angkringan untuk sekedar mengisi perut yang kosong, sambil membicarakan rencana untuk hari ini. Apa yang akan kami lakukan hari ini dan kemana saja kami akan pergi? Kami bicarakan itu semua, meskipun gua lebih banyak bengongnya karena trainleg (kalo pesawat namanya jetleg) dan masih menyesuaikan diri sama kota orang. Hahaha…
Keti yang menjadi pemimpin perjalanan kali ini memilih menelpon anak Serufo (nama UKM foto yang ada di Universitas Negeri Yogyakarta) untuk bertanya seputar penginapan yang murah di sekitar Malioboro. Kami juga sempat mampir ke sekret mereka, ya sekedar say “halo” lah. Di sekret Serufo juga kami bertanya soal transportasi untuk membawa kami ke beberapa lokasi yang akan kami kunjungi.
Seiring hari yang mulai terik dan orang-orang di Serufo semakin sibuk, kami pun memutuskan untuk segera pergi menuju Malioboro agar secepatnya mendapat penginapan. Dari UNY kami menggunakan Trans Jogja untuk sampai ke Malioboro. Setelah menunggu cukup lama dan beberapa kali transit, akhirnya kami sampai di shelter Malioboro. Sebuah jalan di Jogjakarta yang sering dijadikan lokasi syuting FTV.
Kalo di London ada Abbey Road yang terkenal, maka Jogja punya Malioboro. Saking terkenalnya orang-orang rela mengantri untuk dapat berfoto bersama pelang nama jalannya. Suatu hal yang menakjubkan bukan untuk sebuah jalan…
Mencari Penginapan
Huah… Malioboro!
Apa yang akan kita lakukan di sini? Belanja? Naik andong atau naik beca? Atau hanya melihat-lihat saja? Bukan, bukan itu semua. Kita akan mencari penginapan di sekitar sini. Kawasan Malioboro memang terkenal dengan berbagai macam penginapan, mulai dari kelas koper sampe ransel alias backpacker tersedia di sini.
Pencarian penginapan kami mulai dari… Dinas Pariwisata Kota Jogja. Tenang, kami bukan ingin menginap di dinas pariwisata. Kami ke tempat itu hanya untuk mengambil kalender event. Siapa tau deket-deket ini ada event yang menarik.
Setelah mengambil beberapa brosur di Dinas Pariwisata, kami melanjutkan langkah mencari penginapan. Kami menyusuri Jalan Sosrowijayan yang terletak di sebalah kanan jalan malioboro, sejajar dengan Stasiun Tugu. Ada banyak penginapan di wilayah ini, tapi sayang harganya belum ada yang pas dengan kantong kami. Kami pun coba menysuri gang-gang kecil yang ada di sana dengan diantar oleh seorang warga, tapi hasilnya nihil. Ada yang murah tapi sudah dibooking. Ada juga yang kosong tapi sayang maksimal satu kamarnya hanya untuk bertiga, sedangkan kami ada berempat. Huft…
Hari hampir sore, kami sudah lelah untuk berjalan, perut kami juga sudah mulai berkeroncong. Kalau diingat-ingat kami memang belum makan dari pagi, wajar saja abay jadi beku (istilah yang kami pakai untuk mereka yang suka bengong). Kami beristirahat dan makan di sebuah warung makan kecil untuk mengisi perut kami. Seusai makan kami mulai membicarakan penginapan kembali.
Setelah browsing gua dapat satu tempat yang harganya sesuai, tapi lokasinya kami tidak tahu, yang gua tau cuma nama jalannya doang Sosrokusumo. Jadilah gua menyusuri Malioboro. Setelah beberapa kali bertanya akhirnya gua sampai di jalan tersebut. Sebuah jalan kecil yang terletak persis di samping mal. Kami susuri jalan tersebut. Seperti di Sosrowijayan, di jalanan ini juga banyak penginapan dan hampir semuanya sudah penuh. Sampai akhirnya kami melewati sebauh rumah kecil yang penuh dengan tawa perempuan. Seorang ibu keluar dari rumah tersebut dan memanggil kami, “mas, cari penginapan ya?”. Kami pun mengiyakan seraya mendekati si ibu.
Langkah pertama kami memasuki rumah si ibu, disambut oleh segerombolan perempuan yang menyapa. Wets!! Santai, ini bukan tempat “esek-esek”. Ya meskipun kondisinya buruk, tapi penginapan ini bukan tempat mesum. Mereka, para perempuan itu juga sama seperti kami wisatawan yang datang dari Jakarta.
Kondisi kamar penginapan dengan nama Jumat. setiap kamarnya diberi nama hari. (foto: Harits) |
Ada sekitar 5 kamar, berbilik dari triplek. Tiap ruangan ukurannya berbeda-beda. Ada yang muat untuk 2 orang, 4 orang dan 6 orang. Kamar mandinya berada di luar layaknya sebuah rumah. Dulunya tempat ini adalah kos-kosan putri, yang biasanya ngekos adalah karyawati yang bekerja di sekitar Malioboro. Kami menginap dengan harga 25.000 perorang untuk satu malam, jadi totalnya 100.000 semalam. Kami memberitahukan Aduy dan Abay yang menunggu di warung makan. Setelah mereka setuju kami pun bergegas menuju tempat tersebut dan melakukan check in.
Meskipun kondisinya tak sebaik penginapan pada umumnya. Tapi bagi kami yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar dan hanya tidur dengan waktu sebentar, tempat seperti ini pun sudah cukup. Selama kami masih bisa tidur dengan nyenyak di malam hari, karena esok hari masih ada citra yang harus kami abadikan.
Malam Pertama di Malioboro
Hari sudah kelewat sore saat kami tiba di penginapan. Kami pun memutuskan untuk mandi dan beristirahat sejenak. Barulah malam kami akan melanjutkan jalan-jalan kami di Malioboro.
Ramai, mungkin kata yang pas untuk menggambarkan bagaimana Malioboro pada malam hari. Malam pertama kami di Malioboro kami habiskan dengan menyusuri jalanan yang paling tenar ini hingga ke 0 KM Jogja, ujung dari jalan Malioboro. Ketika gua sampai di 0 KM benak gua langsung melayang ke Kota Tua (Museum Fatahila). Suasananya hampir sam seperti di kota tua. Maklum di 0 KM banyak banyak bangunan tua seperti di sekitaran Fatahila sana. Selain itu ada juga manusia patung, tukang tato, penjual gantungan, pengamen. Cuma bedanya kota tua lebih sesak, sedang 0 KM ada di pinggir jalan raya jadi terasa lebih lega.
Setelah puas menikmati 0 KM, kami pun menuju ujung lainnya dari Jalan Malioboro. Sepanjang jalan toko-toko penjual cinderamata berbau Jogja pun berjajaran. Tapi kami baru sampai sini jadi untuk saat ini kami hanya melihat saja dan berlalu.
Tujuan kami adalah angkringan. Perut kami sudah mulai keroncongan dan mungkin bentar lagi gak Cuma keroncong tapi juga rock. Hahaha…
Sepanjang jalan Malioboro memang banyak yang jual makanan, tapi kabar burung yang ditiup angin mengatakan kalo pedagang makanan di jalanan Malioboro sering “nembak harga”. Jadi daripada kena tipu mending nyari yang jelas. Perut Kenyang, dompet aman, dan pikiran tenang.
Kami memilih salah satu dari banyaknya angkringan yang ada di samping stasiun Tugu. di tengah menikmati hidangan malam yang sederhana ini, kami kedatangan teman-teman dari Serufo UGM yang tadi siang sekretnya kami kunjungi. Ada 2 orang dan gua lupa namanya, hehehe…
Di tengah obrolan kami teringat dengan cerita Fitra tentang tempat yang jua barang-barang antik. Katanya di sana juga ada kamera Analog. Menurut anak Serufo lokasi yang dimaksud itu adalah Pasar Klitikan. Hah! sepertinya kita bakal dibuat geli.
Lokasinya gak jauh dari tempat kami makan. Masih berada di Jalan Malioboro juga. Beruntungnya lagi pasar itu memang baru buka pada malam hari. Jadi kami bisa ke sana untuk melihat-lihat.
Seusai makan kami bergegas menuju tempat tersebut. Meskipun dibilang dekat, tapi bagi kami yang hampir seharian jalan kaki, jarak angkringan ke pasar tersebut tetap membuat kaki kami pegal. Lalu… eng.. ing.. eng… ternyata benar dugaan gua, pasar ini membuat kami geli. Gimana gak geli, saat kami tiba di sana pasar itu begitu sepi. Kami pikir ini hanya nampak depan saja, tapi setelah kami perhatikan ternyata memang tidak ada yang berdagang. Hah! Entahlah kami yang kemalaman atau mereka yang memang libur? Cuma mereka, keluarga mereka, teman-teman mereka dan tuhan yang tahu.
Hari itu kami memang sedang tidak beruntung. Setidaknya kami sudah tau dimana tempatnya, jadi lain waktu kesini lagi kami bisa mampir. Siapa tau kami beruntung.
Hari mulai larut saat kami meninggalkan Pasar Klitikan. Keramaian Malioboro pun mulai surut. Seiring suara trails-tralis toko diturunkan dan ditutup rapat. Para pekerja mulai pulang kembali ke pulukan keluarga. Mereka yang berwisata mulai menepi ke penginapan yang mereka pesan. Begitu pun dengan kami.